Cinta adalah opik yang paling menarik dalam setiap pembicaraan, betul tidak??. Hmm,…jika membicarkan tentang cinta tak akan pernah akan ada habisnya ujungnya deh, tapi makna cinta yang sebenarnya itu apa cyh??, nah mari kita tilik bersama,…
Jika kita lihat, masa kini cinta sudah memiliki pandangan yang berbeda dalam memaknainya. Betul tidak?? Yah meski ada sebagian orang belum menyadari itu. Cinta yang tulus dan suci adalah dambaan setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan yang berakhir pada mahligai ikatan pernikahan. Tidak dipungkiri saya pun sebagai penulis menginginkan seperti itu. Nah disini saya akan menceritakan sedikit tentang sebuah kisah, kisah ini saya ambil dari fenomena-fenomena sekitar saya. Kisah seorang gadis yang ketidak hati-hatiannya dalam memandang apa arti cinta. Sebut saja Zahra, ia mendambakan seorang pendamping hidup satu untuk selamanya. Setia dan komitment dalam dirinya menjadi dasar ia memaknai cinta namun kesalahannya ia tidak menggantungkan harapannya tersebut pada Allah melainkan pada seorang laki-laki pilihannya tersebut. Gejolak hati diluar kendali penuh jiwa pun mncengkram fikirannya, yang ada adalah rasa ingin memiliki laki-laki pilihannya tersebut yang membawanya pada kelalaian. Sekian tahun pun berlalu, Zahra masih setia menunggu janji laki-laki pilihannya tersebut yang pernah mereka ikrarkan, yaitu menikah. Waktu berganti tanda detak jantung berdetak, Zahra yang kala itu berharap dalam detiknya bersabar menunggu waktu yang ia nantikan itu. Akhirnya waktu itu pun datang. Dengan pakaian muslimah berwarna pink dan kerudung hitam yang ia lilitkan pada lehernya, ia duduk disebuah resto yang cukup bergengsi dimana tempat tersebut adalah tempat pertama mereka ikrarkan janji. Ia menunggu kehadiran sang pujaan hatinya, dengan H2C(harap-harap cemas) tentunya namun Ia bersikap untuk tetap tenang, namun detak jantungnya kian berdetak kencang. Laki-laki itu pun datang dengan sikap diam dan dinginnya (salju kali). Sejenak mereka terdiam, Zahra kala itu begitu bahagia dapat melihat sang pujaan hati duduk dihadapannya. Laki-laki itu pun memulai pembicaraan. Dalam inti pembicaraan mereka, laki-laki tersebut tidak bisa menikahi Zahra dengan suatu alasan tertentu, bahwa ia sudah tidak mencintainya lagi,… Tersentak hati Zahra bagai ditusuk duri tajam, yang membuatnya tak dapat lagi berkata apapun. Tanya dalam hatinya pun begitu berkecambuk, mengapa??, dengan luapan amarahnya, Zahra pun berteriak hingga khalayak ramai pun melihat kearahnya pada saat itu. Ia menangis merengek-rengek namun apalah arti air mata untuk laki-laki itu, ia pergi meninggalkan Zahra yang menangis tak berdaya. Kekecewaan Zahra yang begitu besar membuatnya hilang arah, depresi pun menghampirinya, hingga rawat jalan pada psikiater pun dijalaninya, berkat dorongan orang-orang disekelilingnya pun Zahra sembuh dan sadar bahwa ia telah salah memaknai cinta. Ia pun mulai memperbaiki pandangannya tentang cinta. Begituah kisah Zahra, bisa kita ambil hikmah dari kisah itu, bahwa mencintai tak harus memiliki. Mencintai berarti pengorbanan untuk kebahagiaan orang yang kita cintai. Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau memprsilakan. Ia keberanian atau, pengorbanan. Memang jodoh ditangan Allah, namun perlu kita usahakan pula. Jika kita mengharapkan seseorang untuk menjadi pasangan hidup kita, maka gantungkanlah harapanmu itu hanya pada Allah, dengan cara berikhtiar semaksimal mungkin, berdoa dan bertawakal pada Allah. Dan bila pun nantinya harapan itu tak sesuai maka kita bisa siap menghadapinya dan menerima dengan lapang dada.
Membaca sebuah kisah ‘Umar Ibn Al Khaththab’, begitu mudahnya cinta diri digeser ke bawah untuk memberi ruang lebih besar bagi cinta sang Nabi dalam waktu yang sangat singkat. Awalnya bagi saya tak semudah itu, karena cinta sendiri berhubungan dengan tawanan hati yang tidak gampang dialihkan, betul tidak??, tapi mengapa ‘Umar bisa? Karena bagi ‘Umar cinta adalah kata kerja, maka menata ulang cinta baginya hanyalah menata ulang kerja dan amalnya dalam mencintai. Ia tak berumit-rumit dengan apa yang ada dalam hatinya. Biarlah hati mnjadi maklum bagi kerja-kerja cinta yang dilakukan untuk amal shalihnya.
Nah balik lagi nih pada persoalan masa kini, coba deh kita amati, cinta masa kini lebih merupakan masalah “dicintai” (to be loved) bukan “mencintai” (to love) atau “kemampuan untuk mencintai” (ability to love). Persoalan “dicintai” iu adalah sesuatu yang diluar kendali penuh jiwa kita. Kita dicintai atau tidak, bukanlah suatu hal yang bisa kita paksakan. Mari kita lihat, semakin marak bukan tentang perceraian, alasannya karena itulah, anulah, yang paling banyak alasan yang dikemukakan adalah karena “Aku sudah tidak mencintaimu lagi!”. Justru karena kau tak mencintainya lagi, maka cintailah dia. Karena cinta adalah kata kerja.
Yah,..bicara soal cinta bukanlah gejolak hati yang datang sendiri melihat paras ayu atau jenggot rapi. Tapi artikanlah atau pandanglah cinta sebagaimana cinta kepada Allah yang tak serta merta mengisi hati kita, setiap cinta memang harus diupayakan. Dengan kerja, dengan pengorbanan, dengan air mata, dan bahkan darah.
Sudahkah kita memandang cinta sebagai kata kerja?, semoga kisah Zahra tersebut bisa kita jadikan pembelajaran.
Wallahu a’lam bishawab,..
Mata airnya adalah niat baik dari hati yang tulus
Alirannya adalah kerja yang terus menerus
0 komentar:
Posting Komentar