Khitbah adalah jalan pembuka menuju pernikahan. Boleh dibilang, khitbah merupakan jenjang yang memisahkan antara pemberitahuan persetujuan seorang gadis yang sedang dipinang oleh seorang pemuda dan pernikahannya. Keduanya sepakat untuk menikah. Tapi, ia hanya sekadar janji untuk menikah yang tidah mengandung akad nikah. Di indonesia mungkin kita lebih mengenal kata "pertunangan" dari pada khitbah. Adapun larangan sesudah khitbah yaitu sama dengan sebelum khitbah, hanya saja khitbah disini hanyalah jalan pembuka menuju pernikahan namun belum terjadi akad nikah, nah adapun larangannya yaitu:
Dalam masa penantian sebelum resmi menikah, seorang lelaki dan perempuan wajib menjaga kehormatan dirinya. Meskipun sudah melakukan khitbah atau pertunangan, tetap saja keduanya belum dihalalkan untuk melakukan sesuatu yang lazim dipraktekkan pasangan suami isteri. Dari sini, tidak dibenarkan bagi kedua tunangan untuk melanggar batas-batas syariat, seperti percampuran dan kencan.
Dengan pengertian ini, status khatib (pelamar) tetap menjadi orang asing (bukan muhrim) bagi makhtubah (perempuan yang dilamar) begitu pun sebaliknya, meskipun si makhtubah bersedia untuk menjalin hubungan berumah tangga dgn lelaki tersebut. Kenapa agama memperhatikan hal ini? Karena dikhawatirkan bisa menimbulkan fitnah yang bermuara pada perbuatan maksiat. Yang menghalalkan hubungan suami isteri hanyalah akad nikah. Dalam konteks inilah, Nabi saw. bersabda, "Janganlah seorang laki-laki bertemu sendirian dengan seorang wanita yang tidak halal baginya, karena bahwasannya yang ketiganya adalah setan" (HR. Imam Ahmad dari Sahabat Amir bin Robi'ah). Untuk menghindari hal-hal seperti itu, solusi terbaik adalah tindakan preventif dari hal-hal yang diharamkan Allah swt., termasuk menjaga jarak dengan calon isteri atau suaminya sedini mungkin. Sebab, hubungan khatib dgn makhtubahnya adalah hubungan yang paling rawan dan berbahaya. Tidak mengherankan, jika suatu daerah memandang perlu pembatasan ruang gerak seorang khatib maupun makhtubah. Dari situlah kita mengenal tradisi memingit calon mempelai. Masa penantian setelah khitbah, memang tidak ada batas waktu secara khusus. Hanya saja masyarakat cenderung menggantungkan kepada adat yang berlaku di daerahnya. Jika kebiasaannya tiga bulan, maka waktu itulah yang dijadikan patokan. Akan tetapi itu pun tidak mutlak, tetapi tergantung kesepakatan kedua belah pihaklah yang membicarakan dan mendiskusikan tentang kapan pelaksanaan pernikahan setelah peminangan itu. Jika kedua belah pihak sepakat untuk menikah sampai ada target-target tertentu, maka itulah rentang masa khitbah yang berlaku. Begitulah batasan khitbah (tunangan) yang sesungguhnya dalam Islam. Tidak mentang-mentang sudah ada kesepakatan untuk menikah lantas bebas berbuat semaunya, tapi tetap menjungjung tinggi koridor kebenaran menurut syariat Islam. Sayangnya, masyarakat sekarang ini seperti acuh bila kedua insan yang berkhitbah melakukan hal yang jelas dilarang agama. Orang seakan memaklumi bahkan menganggap sebagai kewajaran meski harus melabrak tatanan. Bahkan pernah saya menanyakan kepada pasangan ikhwan-akhwat yang sudah berkhitbah yang melanggar tatanan dalam islam, mereka berkata, “Lah kita melakukan ini kan supaya belajar jika ketika menikah nanti tidak kaget!”. Wah..wah..kelewatan bukan?, Na’udzubillahimindzalik,.. semoga Allah melidungi kita dari hal-hal yang buruk yang membawa kita pada kemaksiatan.
Benarkah tatanan agama kian terkikis seiring dengan pergerakan masa? Mari kita renungkan!
Tulisan ini saya buat bukan untuk menyinggung beberapa teman yang sedang dalam proses pelamaran, sama sekali tidak. tapi hanya ingin membagi ilmu yang menurut saya baru dan meng-clear-kan segala macam larangan setelah khitbah. Ini seperti perintah Allah yang menyuruh saya untuk menjelaskan hal mengenai ini, dimana saya ingin mengingatkan apabila ada sahabat yang melanggarnya.
Semoga bermanfaat, Amiin..^^
0 komentar:
Posting Komentar